• (0251) 8616655
  • postgraduate.ibf@sebi.ac.id
  • Bojong sari, Depok, Jawa Barat
Ijtihad Kolektif: Saat Fatwa Ekonomi Butuh Kerja Tim

Ijtihad Kolektif: Saat Fatwa Ekonomi Butuh Kerja Tim

Kalau bicara soal fatwa, banyak orang mungkin membayangkan seorang ulama duduk sendiri, membuka kitab-kitab klasik, lalu memberi keputusan hukum. Gambaran ini tidak sepenuhnya salah, tapi zaman kita sudah berubah. Dunia bergerak cepat, terutama dalam urusan ekonomi. Ada fintech syariah, sukuk hijau, asuransi mikro, bahkan sistem pembiayaan yang melibatkan kecerdasan buatan. Semua ini butuh kepastian hukum Islam.

Nah, di sinilah muncul satu konsep penting: ijtihad kolektif atau ijtihad jamā‘ī. Sederhananya, ini adalah kerja tim para ulama dan pakar lintas bidang untuk menghasilkan fatwa. Tidak lagi hanya seorang mujtahid sendirian, tapi kumpulan ahli yang berdiskusi, menimbang, lalu mengambil keputusan bersama.

Kenapa Perlu Ijtihad Kolektif?

Bayangkan Anda diminta memutuskan hukum syariah untuk “green sukuk”—obligasi syariah yang hasilnya dipakai membiayai proyek ramah lingkungan. Di situ bukan cuma ada masalah fiqih, tapi juga soal teknis keuangan, kebijakan publik, sampai ilmu lingkungan. Kalau hanya satu orang ulama yang menanganinya, bisa-bisa banyak aspek terlewat.

Dengan ijtihad kolektif, keputusan hukum jadi lebih kaya perspektif. Ada ulama ahli ushul fiqh yang memastikan dalil kuat, ada ekonom syariah yang memahami mekanisme pasar, ada akuntan syariah yang tahu risiko laporan keuangan, bahkan mungkin ada pakar lingkungan yang menjelaskan dampak proyek hijau. Hasil akhirnya bukan sekadar fatwa, tapi panduan yang bisa langsung dipakai dunia nyata.

Kekuatan Kerja Tim dalam Fatwa

Ijtihad kolektif memberi tiga keuntungan besar.

Pertama, kualitas fatwa meningkat. Fatwa bukan lagi hasil pemikiran satu orang, tapi hasil rembukan para ahli. Kesalahan bisa diminimalisir, karena tiap argumen diuji silang.

Kedua, lebih bisa diterapkan. Karena melibatkan pakar teknis, fatwa tidak hanya ideal di atas kertas, tapi juga realistis di lapangan. Misalnya, ketika ulama menetapkan syarat halal untuk produk perbankan syariah, para ekonom bisa langsung menghitung dampaknya terhadap sistem keuangan.

Ketiga, lebih kredibel di mata publik. Fatwa yang disusun kolektif lebih mudah diterima karena ada transparansi dan akuntabilitas. Publik bisa tahu, “Oh, ini bukan keputusan satu orang, tapi hasil musyawarah para ahli.”

Bagaimana Prosesnya?

Kalau dilihat dari dekat, ijtihad kolektif punya langkah-langkah yang cukup jelas.

  1. Tim dibentuk. Anggotanya bukan hanya ulama fiqih, tapi juga ahli maqashid, ekonom, akuntan syariah, bahkan insinyur atau pakar IT kalau dibutuhkan.
  2. Tujuan syariah ditentukan. Apa yang ingin dilindungi? Keadilan, keterbukaan, kesejahteraan umat, atau keberlanjutan lingkungan?
  3. Dalil digali. Para ulama membuka kembali Al-Qur’an, Sunnah, kaidah ushul fiqh, dan analogi hukum.
  4. Fakta teknis dipelajari. Para pakar menjelaskan bagaimana produk atau sistem ekonomi itu bekerja di dunia nyata.
  5. Diskusi mendalam. Semua pendapat dikupas. Kalau ada perbedaan, didengar. Kalau ada potensi mudarat, ditimbang.
  6. Fatwa disusun. Hasil akhir dirumuskan dalam bahasa yang jelas, dengan alasan hukum dan bukti teknis.
  7. Evaluasi terbuka. Fatwa diumumkan, dikritisi, dan kalau ada fakta baru, bisa direvisi.

Inilah yang membedakan ijtihad kolektif dengan ijtihad individu. Prosesnya lebih demokratis, lebih terbuka, dan lebih siap menghadapi realitas kompleks.

Tantangan yang Tidak Bisa Diabaikan

Tentu, ijtihad kolektif tidak selalu mulus. Ada tantangan yang perlu diwaspadai.

  • Politisasi. Ada risiko badan fatwa dipengaruhi kepentingan politik atau bisnis. Kalau ini terjadi, independensi ijtihad bisa terganggu.
  • Kurang pluralitas. Kalau anggota tim terlalu homogen, hasilnya bisa bias. Karena itu, penting untuk melibatkan beragam pandangan mazhab dan disiplin ilmu.
  • Legitimasi publik. Fatwa bisa diragukan kalau masyarakat merasa prosesnya tertutup atau elitis. Maka, transparansi alasan hukum dan keterbukaan terhadap kritik itu wajib.

Etika dalam Ijtihad Kolektif

Sebagai mujtahid yang ikut terlibat dalam kerja kolektif, ada prinsip-prinsip moral yang harus dipegang:

  1. Keberagaman anggota. Jangan hanya satu mazhab atau satu kelompok pemikir. Suara minoritas pun penting.
  2. Transparansi. Publik berhak tahu dalil apa yang dipakai, data apa yang jadi dasar, dan kenapa sebuah keputusan diambil.
  3. Tanggung jawab personal. Meski keputusan kolektif, setiap anggota harus berani menandatangani pendapatnya.
  4. Kesiapan merevisi. Dunia ekonomi berubah cepat. Fatwa pun harus siap direvisi bila fakta baru muncul.

Mengapa Ini Penting untuk Hukum Ekonomi Syariah?

Karena hukum ekonomi syariah berhubungan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Bayangkan sebuah fatwa tentang pembiayaan mikro untuk UMKM syariah. Kalau fatwanya terlalu kaku, bisa-bisa banyak pelaku usaha kecil kesulitan mengakses modal. Sebaliknya, kalau fatwanya terlalu longgar tanpa dasar kuat, sistem bisa disalahgunakan.

Ijtihad kolektif menjadi jembatan. Ia menjaga agar hukum Islam tetap setia pada teks dan maqashid (tujuan syariah), tapi juga tidak buta terhadap realitas sosial-ekonomi.

Dari Kitab ke Dunia Nyata

Pada akhirnya, ijtihad kolektif adalah bentuk nyata dari semangat musyawarah dalam Islam. Ia bukan sekadar “rapat ulama”, tapi wadah di mana teks, akal, dan data bertemu untuk melahirkan keputusan yang maslahat.

Dalam dunia yang terus berubah, terutama di sektor ekonomi, fatwa tidak boleh jadi menara gading. Ia harus hadir sebagai panduan yang bisa dipakai masyarakat, bank, lembaga keuangan, bahkan pemerintah. Dan untuk itu, ijtihad kolektif adalah jalan terbaik.

Seperti pepatah, “dua kepala lebih baik daripada satu.” Apalagi kalau yang duduk bersama bukan hanya dua, tapi sepuluh kepala cerdas dari berbagai bidang. Itulah kekuatan ijtihad kolektif: mengubah fatwa dari sekadar keputusan hukum, menjadi solusi hidup yang nyata

Please login to bookmark Close

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *